Selasa, 26 Mei 2009

Presiden Obama dan Babak Baru Hubungan RI-AS

Presiden Obama dan Babak Baru Hubungan RI-AS

Ratusan juta pasang mata dari berbagai penjuru dunia tertuju ke Capitol Hill menyaksikan pelantikan Presiden AS Barack Obama, 20 Januari kemarin. Terpilihnya Obama menimbulkan harapan di berbagai kalangan karena ia menjanjikan perubahan.

Tingkat dukungan publik AS terhadap Obama saat ini mencapai 86 persen, angka yang sangat signifikan bagi pemerintahan yang akan mulai bekerja. Pelantikan Obama akan diikuti dengan pergantian sejumlah besar pejabat, termasuk menteri dan para pejabat tinggi Deplu AS.

Selama kampanye, Obama berjanji akan menerapkan pendekatan berbeda dengan Presiden George W Bush dalam kebijakan luar negeri AS. Obama bertekad menutup kamp Guantanamo, Kuba. Ia juga menyatakan siap berbicara tak hanya dengan negara-negara sekutu dan sahabat, tetapi juga dengan negara-negara yang berseberangan, seperti Iran, Suriah, dan Korea Utara. AS juga akan lebih mengedepankan diplomasi dan menggunakan forum-forum multilateral untuk mengatasi tantangan dan masalah global. Ia berkomitmen AS akan terlibat lebih aktif dalam pembahasan isu lingkungan dan energi, memperkuat rezim Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT), memajukan pendidikan melalui inisiatif Global Education Fund, dan lain-lain.

Obama menyatakan prioritas kedua kebijakan luar negerinya mengamankan senjata dan material nuklir. Untuk itu, AS akan memperkuat NPT dan meratifikasi Comprehensive Test Ban Treaty (CTBT). Ia juga akan menekankan politik luar negeri pada upaya mengatasi kemiskinan, memajukan pendidikan, memberantas penyakit, dan mencegah pembunuhan massal. Ia akan memperkuat kemampuan negara-negara mitra di berbagai kawasan dalam mencegah konflik, menjaga perdamaian, dan merekonstruksi kembali masyarakat yang menderita akibat konflik.

Obama menyadari konsekuensi dari krisis iklim global dan meyakini sudah saatnya AS memimpin upaya kolektif mengatasi masalah itu. AS juga akan mengupayakan keluar dari ketergantungannya dari minyak dan gas bumi. Dalam hal ini, Obama akan mendorong kerja sama di bidang energi melalui pendirian Global Energy Forum yang mengikutsertakan negara-negara produsen emisi terbanyak. Terakhir, dengan situasi krisis finansial yang dihadapi AS saat ini, Obama akan memfokuskan kebijakan luar negerinya untuk mendukung pemulihan ekonomi.

Menurut Hillary Clinton dalam dengar pendapat konfirmasinya sebagai calon menlu di Senat AS, pemerintahan Obama 2009-2013 akan memprioritaskan kebijakannya pada: penarikan pasukan AS dari Irak serta menyukseskan perang terhadap Al Qaeda, Taliban, dan kelompok radikal lainnya di Afganistan dan perbatasan Pakistan. Pada saat bersamaan, AS akan menggunakan smart power yang di antaranya terdiri dari diplomasi ekonomi, militer, politik, hukum, dan pendekatan budaya untuk mengatasi konflik di Timur Tengah (termasuk konflik di Gaza saat ini) serta nuklir Iran.

Tantangan global AS

Berdasarkan prioritas kebijakan luar negerinya, upaya untuk merebut perhatian AS terhadap Asia bukan hal mudah. Dalam jangka pendek, Obama dituntut segera memenuhi janji kampanye menarik pasukan AS dari Irak dalam waktu 16 bulan dan mengalihkan sumber daya untuk menyukseskan perang di Afganistan. Perhatian AS juga akan banyak tercurah untuk meredakan ketegangan di Gaza yang masih bergejolak. Pada saat bersamaan, AS juga harus mengantisipasi langkah-langkah Iran yang bersikukuh meneruskan program pengayaan uranium dan Korea Utara yang dicurigai akan terus mengembangkan program senjata nuklir.

Perhatian AS di Asia akan lebih diarahkan untuk menghadapi semakin besarnya kekuatan China di berbagai bidang walau Jepang akan tetap menjadi batu penjuru kebijakan luar negeri di kawasan. AS memprediksikan China dapat menjadi negara paling berpengaruh setelah AS dalam dua dekade mendatang. China juga akan memiliki kekuatan militer yang sangat besar, juga negara yang paling banyak membutuhkan energi dan menyumbangkan polusi.

AS juga akan mengantisipasi menguatnya pengaruh dan kekuatan Rusia. Sebagaimana disebutkan dalam Global Trends 2025 yang dikeluarkan US National Intelligence Council November 2008, AS memperkirakan Rusia akan menjadi kekuatan besar yang harus diperhitungkan bila negara itu berhasil meningkatkan kemampuan SDM, melakukan diversifikasi ekonomi, dan semakin terintegrasi dengan pasar global. Pemerintahan Obama juga akan disibukkan dengan negosiasi Strategic Arms Reduction Treaty (START) yang akan segera berakhir Desember 2009, sementara hubungan Washington dan Kremlin dalam situasi yang kurang kondusif menyusul pecahnya konflik bersenjata Georgia-Rusia dan program pembangunan sistem pertahanan rudal di Eropa.

Pada saat bersamaan, AS juga harus memberi perhatian pada India sebagai kekuatan besar di Asia Selatan. Perhatian AS terhadap India saat ini tidak saja untuk menindaklanjuti penandatanganan kemi- traan strategis di bidang penggunaan nuklir untuk tujuan damai, tetapi juga karena serangan teroris di Mumbai yang mengindikasikan besarnya ancaman terorisme di Asia Selatan dan masih kuatnya ketegangan hubungan Pakistan-India.

Akibat krisis finansial dan berbagai konflik serta ketegangan di berbagai kawasan, AS dihadapkan pada pilihan antara konsentrasi mengatasi masalah domestik atau menambah mitra kerja guna mengatasi berbagai tantangan bersama yang sekaligus mendukung wajah baru AS. Penulis berpandangan Obama akan memfokuskan perhatian pada upaya mengatasi berbagai isu domestik, terutama mengatasi situasi ekonomi seraya membangun kemitraan dengan berbagai negara. Sebesar apa peluang RI meningkatkan hubungan bilateral dengan AS? Adakah tantangan yang bakal dihadapi RI dalam membangun kemitraan yang lebih strategis dengan AS?

Hubungan bilateral RI-AS

Hubungan bilateral RI-AS mengalami pasang surut. Kedua negara mempunyai perbedaan dalam beberapa isu, tetapi secara umum hubungan RI-AS selama delapan tahun meningkat pesat. AS mencabut embargo senjata dan memberikan bantuan pendidikan 157 juta dollar AS untuk kurun waktu lima tahun. Selain itu, Millennium Challenge Corporation (MCC), sebuah lembaga bantuan pembangunan AS, juga telah mengakui berbagai kemajuan RI di bidang good governance dan dedikasi untuk mendorong liberalisasi ekonomi serta investasi dalam pembangunan sumber daya manusianya.

Perdagangan antarkedua negara mengalami kenaikan signifikan dari 18,5 miliar dollar AS (2007) menjadi 20,1 miliar dollar AS (Januari-November 2008). Foreign direct investment (FDI) juga meningkat walau masih kurang besar dibandingkan dengan FDI yang masuk ke negara-negara lain. AS berperan aktif dalam upaya tanggap darurat tsunami di Aceh dan mendukung proses damai Aceh serta pemberlakuan otonomi khusus di Provinsi Papua dan Papua Barat. Kerja sama militer juga berlanjut melalui program Foreign Military Financing dan International Military and Education Training (IMET). Dialog antarpejabat militer terus dilakukan melalui forum US-Indonesia Strategic Dialogue. Tak ketinggalan Kepolisian Negara RI, Kejaksaan Agung, Mahkamah Agung, dan KPK terus meningkatkan hubungan kerja sama dengan berbagai institusi penegakan hukum di AS. Dalam isu lingkungan, AS pendukung Coral Triangle Initiative yang dipelopori RI dengan lima negara Asia Pasifik.

Kerja sama antarparlemen juga terus meningkat, ditandai dengan meningkatnya intensitas kunjungan dan pertemuan badan-badan parlemen kedua negara. Di sektor pendidikan, ratusan pelajar RI sering diundang mengikuti program pendidikan singkat di AS dan sebaliknya Pemerintah RI menyediakan beasiswa Dharmasiwa bagi sejumlah mahasiswa AS yang belajar bahasa dan kebudayaan Indonesia.

Di berbagai kalangan pemerintah, Kongres, pemerhati kawasan Asia maupun publik AS secara umum, RI diakui sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia yang demokratis. RI dipandang berhasil memberantas terorisme dan mempunyai peran besar menjaga stabilitas dan keamanan di Asia Tenggara. Pengakuan pentingnya posisi dan prestasi RI disinggung seorang peneliti Brookings Institute dan Senator Chistopher Bond yang menyarankan Obama mengunjungi RI bila ingin menyampaikan pidato di depan masyarakat Muslim. Kedua tokoh itu menyarankan Obama memilih RI sebagai tempat yang paling tepat tidak saja karena ia pernah menghabiskan sebagian masa kecilnya di sini, tetapi juga untuk menunjukkan penghargaan AS atas peran RI selama ini dalam memberikan kontribusi menjaga perdamaian dan stabilitas di Asia Tenggara, serta representasi sebagai negara demokratis. Duta Besar AS untuk RI Cameron Hume di hadapan forum diskusi CSIS-USINDO di Washington DC, 15 Januari 2009, dengan sangat artikulatif menjelaskan arti penting RI bagi AS dan perlunya AS menjalin kerja sama kemitraan strategis dengan RI.

Seluruh pilar kerja sama RI-AS akan terus dikembangkan pada masa datang. Namun, dengan adanya pemerintahan baru AS, RI mempunyai ragam pilihan kebijakan dengan memaksimalkan manfaat dari hubungan bilateral yang telah terbangun tersebut melalui pengembangan suatu kemitraan strategis.

Kemitraan strategis RI-AS

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidato di depan para pengusaha dan pemerhati Indonesia di AS bulan November 2008 menyerukan dimulainya babak baru hubungan RI-AS dalam bentuk kemitraan strategis yang didasari kesetaraan dan kepentingan bersama. Kemitraan strategis tersebut harus membawa manfaat bagi rakyat kedua negara, bersifat jangka panjang, dan mengandung elemen hubungan antarmasyarakat.

Menurut Cameron dan Yongnian (2007), kemitraan strategis secara umum didasarkan pada prinsip kesetaraan, saling percaya, dan menghormati. Kesepakatan kemitraan strategis biasanya juga bersifat komprehensif, holistik, dan jangka panjang serta disertai komitmen dan mekanisme kerja sama yang intensif, terus-menerus, dan stabil.

AS dan RI dapat menentukan bidang- bidang yang menjadi prioritas kerja sama kedua negara. Kemitraan strategis itu tidak saja akan menandai semakin majunya hubungan di antara kedua negara, tetapi juga dapat memberikan keuntungan riil bagi masing-masing negara. AS mempunyai kekuatan ekonomi dan kekuatan militer yang sangat besar sekaligus menguasai teknologi yang maju.

Dalam kemitraan strategis tersebut, RI akan mendapat potensi keuntungan yang semakin besar, antara lain dengan peningkatan jumlah bantuan dan kerja sama teknis di berbagai bidang. RI, sebaliknya, akan memberi keuntungan kepada AS yang lebih besar pula, di antaranya dalam memberikan kontribusi pada upaya menjaga perdamaian dan stabilitas di kawasan, yang juga merupakan kepentingan AS. Dalam kemitraan strategis RI-AS, RI dapat menempatkan dirinya dalam posisi yang lebih baik untuk meyakinkan AS agar menggunakan kapasitasnya sebagai negara adidaya secara bertanggung jawab, antara lain dalam pengelolaan stabilitas kawasan dan global, perdagangan internasional, perubahan iklim, dan kerja sama pemberantasan kemiskinan global.

Peluang untuk membangun kemitraan strategis tersebut bukanlah hal yang tidak mungkin apabila menyimak pidato Obama di Berlin tahun lalu, yaitu ”Partnership and cooperation among nations is not a choice; it is the one way, the only way, to protect our common security and advance our common humanity”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

RSS Scroller

Iklan Anda